Rekonsiliasi dan CNC
dalam Pertambangan Mineral dan Batubara
Latar Belakang
Rekonsiliasi
Perubahan
Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membawa
berbagai perubahan bagi kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara di
Indonesia.
Tentunya UU No. 4
Tahun 2009 sebagai UU yang lebih baru diharapkan lebih memperbaiki tata kelola
agar Pertambangan Mineral dan Batubara dapat memberikan kontribusi besar bagi
kesejahteraan bangsa Indonesia.
Salah satu yang kita
kenal dalam UU No. 11 Tahun 1967 ada beberapa jenis perizinan seperti KP (Kuasa
Pertambangan), PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan
KK (Kontrak Karya). Sedangkan pada UU No. 4 Tahun 2009 istilah-istilah KP,
PKP2B dan KK sudah berubah menjadi IUP (Izin Usaha Pertambangan). Dimana rezim
IUP tidak hanya dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat namun terjadi desentralisasi
kepada Gubernur atau Bupati/Walikota tergantung Wilayah Pertambangannya.
UU No. 11 Tahun 1967
sudah berlangsung selama 42 tahun, tentunya tidak mudah dalam melaksanakan
perubahan sesuai UU No. 4 Tahun 2009. Untuk itu perlu dilakukan tahapan-tahapan
penyesuaian.
Tata cara untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan sangat
berbeda antara UU No. 11 Tahun 1967 dengan UU No. 4 Tahun 2009, untuk
itu sebelum Izin Usaha Pertambangan diberikan sesuai dengan UU No. 4
Tahun 2009, maka dibuat kebijakan Rekonsiliasi antara IUP-IUP yang sudah ada sesuai
dengan UU No. 11 Tahun 1967.
Tujuan Rekonsiliasi
adalah penataan IUP dengan 2 pengecekan:
Apakah IUP yang sudah
dikeluarkan tidak tumpang tindih dengan IUP lainnya?
Apakah IUP yang
dikeluarkan sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Faktanya memang begitu
banyak izin-izin terutama izin yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota yang
tumpang tindih padahal itu dilakukan dalam lokasi yang sama. Untuk itulah
Rekonsiliasi dilakukan agar ada penertiban izin dan ada kepastian hukum bagi pemegang izin/ atau investor, baik investor dalam negeri maupun investor luar negeri.
Setelah UU No. 4 Tahun
2009 berlaku, izin yang ada sebelumnya yakni KP (Kuasa Pertambangan) kemudian
berubah menjadi IUP baik IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi. Dimana
Bupati/ Walikota melakukan “peremajaan” izin. Pemilik Kuasa Pertambangan
mengajukan bukti-bukti seperti SK (Surat Keputusan) KP dan Akta Pendirian
Perusahaan bahwa KP (Kuasa Pertambangan) yang dimiliki sudah sesuai dengan UU
No. 11 Tahun 1967. Kemudian Bupati/ Walikota melakukan perubahan kemudian
menggantinya menjadi IUP (Izin Usaha Pertambangan) disesuaikan dengan SK KP
sebelumnya apakah pada tahap Eksplorasi ataupun Produksi.
Dalam kurun waktu setelah mulai berlakunya UU No. 4 Tahun 2009 sampai dengan 2011 Pemerintah tidak mengeluarkan izin yang sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009, semua IUP yang keluar adalah atas
dasar izin yang sudah dikeluarkan berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967. Pada saat
inilah begitu banyak calon investor yang tertipu karena banyak IUP
yang beredar tidak sah dan tidak ada dasar hukumnya. Karena begitu mudahnya IUP
itu dibuat. Apalagi pencatatan dokumentasi di Dinas Pertambangan dan Energi baik di
tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi bahkan Pemerintah Pusat sangat lemah sehingga
banyak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dasar Hukum
Rekonsiliasi
Atas dasar
pertimbangan di atas maka kegiatan Rekonsiliasi dilakukan. Namun apabila kita
telusuri istilah Rekonsiliasi tidak ditemukan dalam UU maupun peraturan
perundang-undangan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah.
Didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak ditemukan kata Rekonsiliasi.
Begitu juga PP
(Peraturan Pemerintah) dimana biasanya pengejawantahan UU haruslah melalui PP.
Kita ingat perlu waktu setahunan lebih untuk membuat PP setelah UU No. 4 Tahun
2009 berlaku. Pada masa itu begitu banyak ketidak pastian hukum terutama bagi
para pelaku usaha terutama yang sudah memiliki KP, PKP2B atau KK.
Tentang KP sudah
dijelaskan di atas. Adapun PKP2B dan KK mempunyai perbedaan dengan KP. PKP2B
dan KK adalah hasil perundingan antara Pemerintah dengan Perusahaan Swasta baik
Perusahaan Swasta maupun Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Contohnya
adalah KK (Kontrak Karya) PT. Freeport Indonesia yang perubahan-perubahannya
berdasarkan hasil negosiasi antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia
sendiri. Sehingga sampai saat ini Kontrak Karya PT Freeport sudah mencapai
Generasi ke-7. Dalam Kontrak dinyatakan bahwa apabila ada perubahan maka
perubahan dapat dilakukan berdasarkan perundingan antara Pemerintah
(Government) dengan PT FI yang merupakan “Business Institution” atau “G to B”.
Begitupun PKP2B yang khusus di pertambangan batubara.
Kembali kepada
Rekonsiliasi bahwa dapat dikatakan bahwa Rekonsiliasi tidak ada dasar hukumnya
dalam UU maupun PP padahal dari paparan diatas sangatlah penting untuk penataan
Izin.
Rekonsiliasi adalah
Hanya kegiatan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Mineral Batubara
Kementerian ESDM dalam rangka penataan IUP namun sangat berpengaruh dalam
penentuan Izin.
Prosedur
Rekonsiliasi
Kegiatan Rekonsiliasi
melibatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik di Tingkat Provinsi
maupun di Tingkat Kota/Kabupaten. Pemerintah Pusat memberikan kesempatan kepada
Pemerintah Daerah untuk menginventarisasi Pemegang-pemegang IUP di daerahnya
masing-masing.
Pemerintah Pusat dalam
hal ini diwakili oleh Dirjen Minerba membagi dengan beberapa Wilayah dan Kabupaten/Kota,
kemudian mengundangnya di Jakarta secara bergiliran. Pemda setempat membawa Daftar Pemegang IUP di Wilayahnya beserta bukti-bukti
dokumen yang ada kemudian dicocokkan dengan Dokumen yang ada di Pemerintah
Pusat. Pemda juga menginformasikan apakah IUP tersebut bermasalah atau tidak.
Apabila tidak bermasalah maka akan dibuat “minutes of meeting” bahwa IUP
tersebut dapat direkomendasikan untuk diumumkan Status C&C nya.
Pengumuman Hasil
Rekonsiliasi serta kendala yang dihadapi dalam Proses Rekonsiliasi
Kegiatan Rekonsiliasi
diundang oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Dirjen Minerba sebagai pengundang.
Undangan ditujukan kepada Gubernur/Bupati/Walikota namun biasanya yang hadir
adalah Kepala Dinas Pertambangan Provinsi maupun Kepala Dinas Pertambangan
Kabupaten/Kota.
Setelah Dinas setempat
mendapatkan informasi kapan Rekonsiliasi akan mendapat giliran, maka Dinas
menginformasikan kepada semua Pemegang IUP di wilayahnya masing-masing agar
melengkapi semua dokumen agar IUP yang dipegang adalah sah.
Karena ini sangat
penting demi kelangsungan usahanya maka Pemegang IUP akan mematuhinya dan
meyakinkan Dinas bahwa IUP yang dimilikinya sudah memiliki dasar hukum sesuai dengan
UU No. 11 Tahun 1967 sampai mereka memiliki IUP dimana sudah ditandatangani
oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Faktanya banyak
Bupati/Walikota yang mengeluarkan IUP namun tidak memiliki dasar hukum sesuai
dengan SK-SK hal inilah yang menjadi incaran kegiatan Rekonsiliasi.
Kendala dalam kegiatan
Rekonsiliasi adalah tidak baiknya Dokumentasi atau penyimpanan IUP dan bukti
lainnya baik di tingkat Pemerintah Daerah maupun Pusat padahal ketika IUP itu
ada semua mendapatkan lampirannya.
Mengulas kebijakan
Clean and Clear sebagai upaya menata IUP, Hubungan Rekonsiliasi izin usaha
pertambangan mineral dan batubara dengan Clean and Clear serta
Legalitas Clean and Clear, Dampak Clean and Clear terhadap kegiatan usaha
pertambangan
Status CNC ini sangat
dinanti oleh para pelaku usaha, karena lebih adanya kepastian hukum terhadap
IUP yang sudah dikeluarkan sebelumnya oleh
Bupati/Walikota/Gubernur/Pemerintah Pusat. Bagi pelaku usaha di bidang
Trading, Kontraktor, Transportasi, Pemegang IUP baik IUP/PKP2B/KK dan calon
pemegang IUP sangatlah penting
Sebagaimana kita
ketahui banyak sekali IUP-IUP yang beredar tumpang tindih bahkan ada dalam
koordinat yang sama dimiiki oleh 2 pemegang IUP, karena Bupati sebelumnya dan
Bupati yang terakhir mengeluarkan IUP dengan titik kordinat yang sama.
Output dari kegiatan
Rekonsiliasi yang berhasil adalah Pengumuman CnC dimana IUP telah
memenuhi syarat antara lain:
- Wilayahnya tidak
tumpang tindih
– Dokumen SK IUP sesuai ketentuan yang berlaku
Bagi perusahaan yang
telah diumumkan CnC dapat memperoleh SERTIFIKAT CnC dengan syarat telah
memenuhi :
1) Aspek Administrasi
2) Aspek Teknis
3) Aspek Keuangan
Dan dalam 30 hari
setelah pengumuman wajib memenuhi:
1. Tahapan Eksplorasi
:
- menyampaikan bukti
setor iuran tetap sampai dengan tahun terakhir
2. Tahapan Operasi
Produksi:
– menyampaikan persetujuan UKL,UPL/AMDAL
– menyampaikan laporan eksplorasi lengkap dan studi kelayakan
– menyampaikan bukti setor iuran tetap dan iuran produksi (royalti) sampai
dengan tahun terakhir.
Apa sanksinya bila
Pertambangan yang dikenal IUP (Izin Usaha Pertambangan) baik IUP Eksplorasi
atau IUP Operasi Produksi tidak memiliki Status CNC dari Kementrian ESDM?
1. Aspek Bisnis TO
atau JOA di Pertambangan Mineral Dan Batubara
Ketika Pemilik IUP
ingin bekerjasama dengan pihak lain (joint operation) biasanya karena
kekurangan modal atau ingin menjual atau Take Over tentunya calon partner atau
investor akan melakukan “due diligence” baik potensi bisnis (deposit dan
kualitas tambang) tentunya yang dilihat kemudian adalah dari segi legalitasnya.
Bahkan kini Aspek legalitasnya IUP didahulukan dibandingkan pertimbangan yang
lain.
Cara mudah bagi calon
partner atau calon investor mengecek legalitasnya adalah ke Ditjen Minerba
KESDM apakah IUP yang dimaksud sudah diumumkan atau belum? Apalagi apakah sudah
mendapat Sertifikat CNC? Apabila ini sudah diumumkan tentunya lebih meyakinkan
bagi calon partner atau investor apalagi bagi Pemilik IUP.
2. Ketentuan Ekspor
Mineral yang baru
Bagi Pemilik IUP
Operasi Produksi di bidang pertambangan mineral bukan Batubara saat ini adalah
saat yang masih membingungkan karena begitu banyaknya persyaratan untuk
mengekspor “raw material”atau “ore mineral” bijih mineral sejak keluarnya :
1. Permen ESDM No. 7
Tahun 2012 yang di revisi dengan Permen ESDM No. 11 Tahun 2012
2.
Permendag No. 29/M-Dag/Per/5/2012 tentang Ketentuan Produk
Pertambangan
3. Permenkeu No.
75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yg dikenakan Bea Keluar
dan Tarif Bea Keluar
Intinya para Pemilik IUP
atau Pemilik Izin lainnya yang mengekspor harus memenuhi Ketentuan-Ketentuan
baru di atas. Selain harus membayar ketentuan Bea Keluar 20 Persen, Eksportir
harus memiliki ETPP (Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan). Dan untuk
mendapatkan ETPP ada beberapa persyaratan terutama adalah Status CNC. Sehingga
apabila tidak memiliki Sertifikat CNC maka tidak dapat mengurus ETPP, artinya
apabila peraturan dilakukan secara konsisten Pemilik IUP tidak dapat melakukan
ekspor bahan mentah materialnya. Hal ini menandakan begitu pentingnya
Sertifikat CNC.