Selasa, 14 Juli 2015

Surat Penawaran Harga Batubara



K O P      P E R U S A H A A N
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No  :  025/RP-BA/I-2008                                                                                       Jakarta, 02 Januari 2008

Kepada Yth,

Bapak Edy Purwoko
Senior Manager Marketing
PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero),Tbk

di-Jakarta

Perihal             :           Penawaran Harga Batubara

Dengan hormat,

Sehubungan dengan produksi batubara Perusahaan kami PT. Harimau Tanggung Perkasa di areal IUP PT. Putera Lea pemegang Izin Usaha Pertambangan di wilayah Barito Timur, Kalimantan Tengah.

Bersama ini kami memberikan harga penawaran batubara kalori (ADB) 5.500 kcal / kg sebagai berikut :

  1. Rp. 175.000,-/MT  (Seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) FOB Tongkang Jetty Telang Baru, harga tersebut adalah batubara asalan (non Crusher).
  2. Rp. 200.000,-/MT (Dua ratus ribu rupiah) FOB Tongkang Jetty Telang Baru, harga tersebut adalah batubara ex Crusher.
Adapun rencana produksi awal Perusahaan kami sekitar 20.000 s/d 40.000,- MT/bulan , data-data Penawaran ini (terlampir).

Demikian Penawaran ini kami ajukan kepada Bapak, atas perhatian dan kerjasamanya  diucapkan terima kasih.


Hormat kami,
PT. Harimau Tanggung Perkasa





xxxxxxxxxxxxxxxxx
   Direktur Utama



CC :  1. Bpk. Tiendis Nangka, Direktur Niaga PT. Tambang Batubara Bukit Asam di Jakarta

PROFILE COAL AREA

PROFILE COAL AREA


Lokasi Lahan :

Nama Badan Usaha Pemegang KP       : PT. PUTERA LEA
Desa/Kecamatan                                 : Dawe, Karang, Kandris,dan Padang Raya. Kec. Dusun Babakan 
Kabupaten/Kotamadya                         : BekasiTimur
Propinsi                                               : Jawa Tengah
Luas Area                                           : 3.000 Ha
Jarak  dari tambang ke stock pile/jetty   : Maksimum 45 km
Nama sungai untuk loading                   : Sungai Ciliwung Baru      
Kapasitas loading sungai u/ tongkang    : 270 Feet = 5.500 MT
Draft air di waktu kemarau                   : 6 Meter
Jarak dari Sungai NapuTelang Baru       : 55 Mile
 ke  Muara Laut Taboneo                    


Legalitas / Surat-surat  :
  1. KP Eksplorasi Bupati Nomor. 27/26 Agustus 2006
  2. KP Eksploitasi Nomor. 1/29 Mei 2007
  3. S.K Lingkungan Hidup Nomor. 3/28 Agustus 2007
  4. S.K Nomor. 2.12/966/BUNHUT tanggal 08 November 2007 dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bupati Barito Tengah tentang keberadaan IUP PT. PUTERA LEA
  5. KP Pengangkutan dan Penjualan  Nomor. 3/10 Desember 2007
  6. Report Of Analysis dan Channel Sampling dari PT. Carsurin Banjarnegara bulan Januari 2008


Demikian Profil Coal Area ini dibuat dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.




                                                                                                Jakarta,  25 Januari 2008
                                                                                                PT. Harimau Tanggung Perkasa




                                                                                                       xxxxxxxxxxxxxxxxxx
                                                                                                           Direktur Utama
                                                                                               


Surat Undangan Survey Produksi Batubara



K.O.P     P.E.R.U.S.A.H.A.A.N
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

No  :  06/RPT-BA/XII-2007                                                               Jakarta,  06 Desember 2007

Kepada Yth,

PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero),Tbk
Up. Bapak .....

di  Jakarta

Perihal             :           Survey Produksi Batubara PT. PUTERA LEA

Dengan hormat,

Menindaklanjuti hasil rapat bersama dengan Bapak Tiendis Nangka Direktur PT. Bukit Asin di Menara Kadin Jakarta, maka bersama surat ini kami mengundang Bapak untuk melakukan survey hasil produksi tambang batubara yang kami kerjakan saat ini di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. PUTERA LEA di Siborong-borong, Sumatera Utara.

Besar harapan kami tim Bapak dapat meluangkan waktu untuk melakukan survey pada akhir bulan Desember 2007 atau awal bulan Januari 2008.

Demikian surat undangan ini kami sampaikan kepada Bapak, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.

Hormat kami,
PT. Harimau Tanggung Perkasa



xxxxxxxxxxxxxxxxx
    Direktur Utama

CC  :
  1. Bapak Tiendis Nangka, sebagai laporan
  2. A r s i p







   

Rekonsiliasi dan CNC dalam Pertambangan Mineral dan Batubara

Rekonsiliasi dan CNC dalam Pertambangan Mineral dan Batubara


Latar Belakang Rekonsiliasi

Perubahan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membawa berbagai perubahan bagi kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia. 
Tentunya UU No. 4 Tahun 2009 sebagai UU yang lebih baru diharapkan lebih memperbaiki tata kelola agar Pertambangan Mineral dan Batubara dapat memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan bangsa Indonesia.
Salah satu yang kita kenal dalam UU No. 11 Tahun 1967 ada beberapa jenis perizinan seperti KP (Kuasa Pertambangan), PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan KK (Kontrak Karya). Sedangkan pada UU No. 4 Tahun 2009 istilah-istilah KP, PKP2B dan KK sudah berubah menjadi IUP (Izin Usaha Pertambangan). Dimana rezim IUP tidak hanya dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat namun terjadi desentralisasi kepada Gubernur atau Bupati/Walikota tergantung Wilayah Pertambangannya.
UU No. 11 Tahun 1967 sudah berlangsung selama 42 tahun, tentunya tidak mudah dalam melaksanakan perubahan sesuai UU No. 4 Tahun 2009. Untuk itu perlu dilakukan tahapan-tahapan penyesuaian.


Tata cara untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan sangat berbeda antara UU No. 11 Tahun 1967 dengan UU No. 4 Tahun 2009, untuk itu sebelum Izin Usaha Pertambangan diberikan sesuai dengan  UU No. 4 Tahun 2009, maka dibuat kebijakan Rekonsiliasi antara IUP-IUP yang sudah ada sesuai dengan UU No. 11 Tahun 1967. 
Tujuan Rekonsiliasi adalah penataan IUP dengan 2 pengecekan: 
Apakah IUP yang sudah dikeluarkan tidak tumpang tindih dengan IUP lainnya?
Apakah IUP yang dikeluarkan sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Faktanya memang begitu banyak izin-izin terutama izin yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota  yang tumpang tindih padahal itu dilakukan dalam lokasi yang sama.  Untuk itulah Rekonsiliasi dilakukan agar ada penertiban izin dan ada kepastian hukum bagi pemegang izin/ atau investor, baik investor dalam negeri maupun investor luar negeri.
Setelah UU No. 4 Tahun 2009 berlaku, izin yang ada sebelumnya yakni KP (Kuasa Pertambangan) kemudian berubah menjadi IUP baik IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi. Dimana Bupati/ Walikota melakukan “peremajaan” izin. Pemilik Kuasa Pertambangan mengajukan bukti-bukti seperti SK (Surat Keputusan) KP dan Akta Pendirian Perusahaan bahwa KP (Kuasa Pertambangan) yang dimiliki sudah sesuai dengan UU No. 11 Tahun 1967. Kemudian Bupati/ Walikota melakukan perubahan kemudian menggantinya menjadi IUP (Izin Usaha Pertambangan) disesuaikan dengan SK KP sebelumnya apakah pada tahap Eksplorasi ataupun Produksi.
Dalam kurun waktu setelah mulai berlakunya UU No. 4 Tahun 2009 sampai dengan 2011 Pemerintah tidak mengeluarkan izin yang sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009, semua IUP yang keluar adalah atas dasar izin yang sudah dikeluarkan berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967. Pada saat inilah begitu banyak calon investor yang tertipu karena banyak IUP yang beredar tidak sah dan tidak ada dasar hukumnya. Karena begitu mudahnya IUP itu dibuat. Apalagi pencatatan dokumentasi di Dinas Pertambangan dan Energi baik di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi bahkan Pemerintah Pusat sangat lemah sehingga banyak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dasar Hukum Rekonsiliasi
Atas dasar pertimbangan di atas maka kegiatan Rekonsiliasi dilakukan. Namun apabila kita telusuri istilah Rekonsiliasi tidak ditemukan dalam UU maupun peraturan perundang-undangan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah.
Didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak ditemukan kata Rekonsiliasi.
Begitu juga PP (Peraturan Pemerintah) dimana biasanya pengejawantahan UU haruslah melalui PP. Kita ingat perlu waktu setahunan lebih untuk membuat PP setelah UU No. 4 Tahun 2009 berlaku. Pada masa itu begitu banyak ketidak pastian hukum terutama bagi para pelaku usaha terutama yang sudah memiliki KP, PKP2B atau KK.
Tentang KP sudah dijelaskan di atas. Adapun PKP2B dan KK mempunyai perbedaan dengan KP. PKP2B dan KK adalah hasil perundingan antara Pemerintah dengan Perusahaan Swasta baik Perusahaan Swasta maupun Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Contohnya adalah KK (Kontrak Karya) PT. Freeport Indonesia yang perubahan-perubahannya berdasarkan hasil negosiasi antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia sendiri. Sehingga sampai saat ini Kontrak Karya PT Freeport sudah mencapai Generasi ke-7. Dalam Kontrak dinyatakan bahwa apabila ada perubahan maka perubahan dapat dilakukan berdasarkan perundingan antara Pemerintah (Government) dengan PT FI yang merupakan “Business Institution” atau “G to B”. Begitupun PKP2B yang khusus di pertambangan batubara.
Kembali kepada Rekonsiliasi bahwa dapat dikatakan bahwa Rekonsiliasi tidak ada dasar hukumnya dalam UU maupun PP padahal dari paparan diatas sangatlah penting untuk penataan Izin.
Rekonsiliasi adalah Hanya kegiatan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Mineral Batubara Kementerian ESDM dalam rangka penataan IUP namun sangat berpengaruh dalam penentuan Izin.
Prosedur Rekonsiliasi
Kegiatan Rekonsiliasi melibatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun di Tingkat Kota/Kabupaten. Pemerintah Pusat memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk menginventarisasi Pemegang-pemegang IUP di daerahnya masing-masing.
Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Dirjen Minerba membagi dengan beberapa Wilayah dan Kabupaten/Kota, kemudian mengundangnya di Jakarta secara bergiliran. Pemda setempat membawa Daftar Pemegang IUP di Wilayahnya beserta bukti-bukti dokumen yang ada kemudian dicocokkan dengan Dokumen yang ada di Pemerintah Pusat. Pemda juga menginformasikan apakah IUP tersebut bermasalah atau tidak. Apabila tidak bermasalah maka akan dibuat “minutes of meeting” bahwa IUP tersebut dapat direkomendasikan untuk diumumkan Status C&C nya.

Pengumuman Hasil Rekonsiliasi serta kendala yang dihadapi dalam Proses Rekonsiliasi
Kegiatan Rekonsiliasi diundang oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Dirjen Minerba sebagai pengundang. Undangan ditujukan kepada Gubernur/Bupati/Walikota namun biasanya yang hadir adalah Kepala Dinas Pertambangan Provinsi maupun Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten/Kota.
Setelah Dinas setempat mendapatkan informasi kapan Rekonsiliasi akan mendapat giliran, maka Dinas menginformasikan kepada semua Pemegang IUP di wilayahnya masing-masing agar melengkapi semua dokumen agar IUP yang dipegang adalah sah.
Karena ini sangat penting demi kelangsungan usahanya maka Pemegang IUP akan mematuhinya dan meyakinkan Dinas bahwa IUP yang dimilikinya sudah memiliki dasar hukum sesuai dengan UU No. 11 Tahun 1967 sampai mereka memiliki IUP dimana sudah ditandatangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Faktanya banyak Bupati/Walikota yang mengeluarkan IUP namun tidak memiliki dasar hukum sesuai dengan SK-SK hal inilah yang menjadi incaran kegiatan Rekonsiliasi.
Kendala dalam kegiatan Rekonsiliasi adalah tidak baiknya Dokumentasi atau penyimpanan IUP dan bukti lainnya baik di tingkat Pemerintah Daerah maupun Pusat padahal ketika IUP itu ada semua mendapatkan lampirannya.
Mengulas kebijakan Clean and Clear sebagai upaya menata IUP, Hubungan Rekonsiliasi izin usaha pertambangan mineral dan batubara dengan Clean and Clear serta 
Legalitas Clean and Clear, Dampak Clean and Clear terhadap kegiatan usaha pertambangan


Status CNC ini sangat dinanti oleh para pelaku usaha, karena lebih adanya kepastian hukum terhadap IUP yang sudah dikeluarkan sebelumnya oleh Bupati/Walikota/Gubernur/Pemerintah Pusat. Bagi  pelaku usaha di bidang Trading, Kontraktor, Transportasi, Pemegang IUP baik IUP/PKP2B/KK dan calon pemegang IUP sangatlah penting
Sebagaimana kita ketahui banyak sekali IUP-IUP yang beredar tumpang tindih bahkan ada dalam koordinat yang sama dimiiki oleh 2 pemegang IUP, karena Bupati sebelumnya dan Bupati yang terakhir mengeluarkan IUP dengan titik kordinat yang sama. 
Output dari kegiatan Rekonsiliasi yang berhasil adalah  Pengumuman CnC dimana IUP telah memenuhi syarat antara lain:
- Wilayahnya tidak tumpang tindih
– Dokumen SK IUP sesuai ketentuan yang berlaku
Bagi perusahaan yang telah diumumkan CnC dapat memperoleh SERTIFIKAT CnC dengan syarat telah memenuhi :
1) Aspek Administrasi
2) Aspek Teknis
3) Aspek Keuangan
Dan dalam 30 hari setelah pengumuman wajib memenuhi:
1. Tahapan Eksplorasi :
- menyampaikan bukti setor iuran tetap sampai dengan tahun terakhir
2. Tahapan Operasi Produksi:
– menyampaikan persetujuan UKL,UPL/AMDAL
– menyampaikan laporan eksplorasi lengkap dan studi kelayakan
– menyampaikan bukti setor iuran tetap dan iuran produksi (royalti) sampai dengan tahun terakhir.

Apa sanksinya bila Pertambangan yang dikenal IUP (Izin Usaha Pertambangan) baik IUP Eksplorasi atau IUP Operasi Produksi tidak memiliki Status CNC dari Kementrian ESDM?
1. Aspek Bisnis TO atau JOA di Pertambangan Mineral Dan Batubara
Ketika Pemilik IUP ingin bekerjasama dengan pihak lain (joint operation) biasanya karena kekurangan modal atau ingin menjual atau Take Over tentunya calon partner atau investor akan melakukan “due diligence” baik potensi bisnis (deposit dan kualitas tambang) tentunya yang dilihat kemudian adalah dari segi legalitasnya. Bahkan kini Aspek legalitasnya IUP didahulukan dibandingkan pertimbangan yang lain.
Cara mudah bagi calon partner atau calon investor mengecek legalitasnya adalah ke Ditjen Minerba KESDM apakah IUP yang dimaksud sudah diumumkan atau belum? Apalagi apakah sudah mendapat Sertifikat CNC? Apabila ini sudah diumumkan tentunya lebih meyakinkan bagi calon partner atau investor apalagi bagi Pemilik IUP.
2. Ketentuan Ekspor Mineral yang baru
Bagi Pemilik IUP Operasi Produksi di bidang pertambangan mineral bukan Batubara saat ini adalah saat yang masih membingungkan karena begitu banyaknya persyaratan untuk mengekspor “raw material”atau “ore mineral” bijih mineral sejak keluarnya :
1. Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 yang di revisi dengan Permen ESDM No. 11 Tahun 2012
2. Permendag  No. 29/M-Dag/Per/5/2012 tentang Ketentuan Produk Pertambangan
3. Permenkeu No. 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yg dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar

Intinya para Pemilik IUP atau Pemilik Izin lainnya yang mengekspor harus memenuhi Ketentuan-Ketentuan baru di atas. Selain harus membayar ketentuan Bea Keluar 20 Persen, Eksportir harus memiliki ETPP (Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan). Dan untuk mendapatkan ETPP ada beberapa persyaratan terutama adalah Status CNC. Sehingga apabila tidak memiliki Sertifikat CNC maka tidak dapat mengurus ETPP, artinya apabila peraturan dilakukan secara konsisten Pemilik IUP tidak dapat melakukan ekspor bahan mentah materialnya. Hal ini menandakan begitu pentingnya Sertifikat CNC.

Mengenal Pengertian Pertambangan Sesuai UU Minerba No. 4 Tahun 2009

Pertambangan adalah :
  1. Kegiatan, teknologi, dan bisnis yang berkaitan dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan, pengolahan, pemurnian, pengangkutan, sampai pemasaran.
  2. Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas).
Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi. Penambangan adalah proses pengambilan material yang dapat diekstraksi dari dalam bumi. Tambang adalah tempat terjadinya kegiatan penambangan.

Pengertian Pertambangan Sesuai UU Minerba No.4 Tahun 2009

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
  2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
  3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
  4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
  5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
  6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.
  7. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
  8. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
  9. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
  10. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
  11. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
  12. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
  13. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
  14. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
  15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
  16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pasca tambang.
  17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
  18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
  19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.
  20. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
  21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
  22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
  23. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 
  24. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 
  25. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 
  26. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. 
  27. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

Kedudukan Surat Edaran Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan


Kedudukan Surat Edaran Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan pasal 7, diesbutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/Perpu
4. PP
5. Perpres
6. Perda Provinsi
7. Perda Kabupaten/ Kota

Lebih lanjut dalam pasal 8 disebutkan mengenai jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga/ Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atas perintah UU/ instansi terkait sesuai dengan kewenangannya termasuk Kades/ yang setingkat.

Lalu, bagaimana dengan kedudukan Surat Edaran (SE) dalam hierarki peraturan perundang-undangan?

SE yang dikeluarkan sebelum/ sesudah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.

Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas, cetakan Edisi I Januari 2004 dan PERMEN No. 22 Tahun 2008 (Kemenpan), disebutkan bahwa SE adalah naskah dinas yang memuat PEMBERITAHUAN tentang HAL TERTENTU yang dianggap MENDESAK.

Dalam Permendagri No. 55 Tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa SE adalah naskah dinas yang berisi PEMBERITAHUAN, PENJELASAN, dan/ atau PETUNJUK cara melaksanakan hal TERTENTU yang dianggap PENTING dan MENDESAK.

Jadi, SE bukan suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, SE tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir PERMEN, apalagi PERPRES/ PP, tapi hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan. Tidak ada sanksi dalam SE.